Setahun lalu, bangsa Indonesia berhasil melaksanakan PILPRES 2014 dimana dalam pemilihan tersebut dimenangi oleh pasangan Ir. Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK) mengalahkan tokoh militer alumnus Kopassus Prabowo Subianto, kemenangan Jokowi-JK ini merupakan antitesa dari isu yang beredar, yaitu NKRI tidak akan lama dipimpin oleh tokoh yang lahir dari tokoh sipil. Tokoh sederhana nan bersahaja merupakan ciri khas yang dijual pasangan Jokowi-JK untuk menggaet hati rakyat dan metode ini cukup berhasil meraup suara terbanyak dalam pesta demokrasi 5 tahunan tersebut, seiring berjalannya waktu proses berjalannya era kepemimpinan Jokowi-JK saat ini banyak mendapat kritikan dari berbagai elemen masyarakat terkait beberapa permasalahan-permasalahan yang belum mampu diselesaikan pemerintahan baru baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, agama, dan bidang-bidang lainnya. Disamping itu, keberhasilan Jokowi-JK mengemban amanah dari rakyat sebagai kepala negara belum mampu menjawab ekspektasi masyarakat secara keseluruhan hal ini disebabkan oleh berbagai sikap lemah presiden dalam memimpin negara, sehingga agak kontradiktif dari apa yang menjadi slogan utama ketika mencalonkan diri kala PILPRES 2014 lalu “revolusi mental”. Kemampuan rezim Jokowi-JK menjadi pemenang pada Pilpres 2014 lalu menjadi barometer baru dalam model kepemimpinan di Negara Kesatua Republik Indonesia ini, sosok sederhana, apa adanya, dan tampang pas-pasan menjadi kartu As tersendiri bagi Jokowi-JK. Namun jika kondisi ini disandingkan dengan beberapa tokoh nasional lainnya mungkin sangat berbeda dari sebelum-sebelumnya apalagi jika ditilik melalui konsep ide dan gagasan tokoh-tokoh sebelumnya.
Indonesia merupakan negara besar yang memiliki ribuan suku dan bahasa yang berbeda-beda satu sama lain, bahkan dalam satu daerahpun terdapat beberapa macam suku-bahasa yang menyatu.
Dengan keberagaman ini lahirlah tokoh-tokoh nasional yang mampu menyatukan diri dalam tubuh NKRI, seperti Soekarno, Natsir, Hatta, Syafrudin Prawiranegara, dan tokoh-tokoh nasional lainnya adalah salah satu contoh dari segelintir kesuksesan pemimpin bangsa yang visioner, cerdas, dan memiliki attitude yang patut di contoh, digugu dan ditiru.
Kepemimpinan adalah faktor utama kunci kesuksesan suatu organisasi serta manajemen. Kepemimpinan adalah entitas yang mengarahkan kerja para anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan yang baik akan diyakini mampu mengikat, mengharmonisasi, serta mendorong potensi SDM organisasi agar dapat bersaing secara baik. Konsep kepemimpinan telah banyak ditawarkan para akademisi, politisi, maupun praktisi di bidang keorganisasian dan manajemen. Kepemimpinan tentu saja mengkaitkan aspek individual seorang pemimpin dengan konteks situasi di mana pemimpin tersebut menerapkan kepemimpinan. Kepemimpinan juga memiliki sifat kolektif dalam arti segala perilaku yang diterapkan seorang pimpinan akan memiliki dampak luas bukan bagi dirinya sendiri melainkan seluruh anggota organisasi. Kepemimpinan juga menjadi salah satu ilmu terapan manajemen yang sangat menarik untuk dibicarakan setiap waktu karena kedinamisannya.
Sebelum memasuki materi kepemimpinan, perlu terlebih dahulu dibedakan konsep pemimpin (leader) dengan kepemimpinan (leadership). Pemimpin adalah individu yang mampu mempengaruhi anggota kelompok atau organisasi guna mendorong kelompok atau organisasi tersebut mencapai tujuan-tujuannya. Pemimpin menunjuk pada personal atau individu spesifik atau kata benda. Sementara itu, kepemimpinan adalah sifat penerapan pengaruh oleh seorang anggota kelompok atau organisasi terhadap anggota lainnya guna mendorong kelompok atau organisasi mencapai tujuan-tujuannya.
Degradasi Moral Bangsa
Tidak dipungkiri bahwa akhir-akhir ini bangsa Indonesia ditimpa berbagai permasalahan baik yang berasal dari domestik hinggga luar negeri, kasus korupsi yang merajalela, kasus pembakaran Masjid oleh Jamaah GIDI di Tolikara, dan berbagai persoalan-persoalan lainnya. Penyebab dari semua permasalahan ini adalah adanya kekurangtegasan pemerintah dalam melihat suatu permasalahan, selain itu adanya kongkalikong para elit politik dalam menyusun setiap anggaran pemerintah, dan memanfaatkannya hanya untuk kepentingan elit politik tersebut. Partai politik juga diyakini belom mampu memberikan contoh yang baik bagi masyarakat, hal ini bisa dilihat pada beberapa kasus korupsi yang menyeret pimpinan partai politk, selain itu kasus sengketa antara DPRD dan Gubenur DKI Jakarta beberapa bulan yang lalu memperlihatkan betapa buruknya potret kepemimpinan tanah air.
STOP; Sebagai Strategi Pengendali Kekuasaan
Ketika seseorang menjadi pemimpin dalam sebuah lembaga, baik itu swasta ataupun nasional maka bukan tidak mungkin akan terhindar dari nuansa politik. Dengan politik seorang penguasa senantiasa akan berkuasa pada daerah kekuasaannya dan senantiasa selalu ingin mempertahankan kekuasaannya selama mungkin seperti yang terjadi di era Soeharto dlu.
Namun agar kepemimpinan seseorang terhadap suatu wilayah tidak seperti Soeharto, maka strategi STOP akan mampu menjadi penopang pengendali kekuasaan seseorang tersebut.
Stop memiliki singkatan strategy to overcom the powerpul atau dalam bahasa Indonesianya strategi untuk mengatasi penguasa. Istilah ini diperkenalkan oleh Mark Van Vugt dan Anjana Ahuja dalam bukunya yang sangat fenomenal berjudul Natural Leader, dalam buku tersebut penulis tersebut mengungkapkan cara yang paling pantas untuk mengatasi kekuatan penguasa adalah sebagai berikut;
1. Gosip, ternyata tindakan ini memiliki peranan besar dalam mengendalikan kekuasaan seseorang. Gosip adalah cara untuk mempertanyakan karakter seseorang dengan cara menyebarkan desas-desus negatif mengenai seorang pemimpin mengenai kekejian/kehidupan seksnya. Ternyata metode gosip sangat ampuh dalam meruntuhkan kepopuleran mantan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton ketika menjabat sebagai penguasa waktu itu. Ketika itu, beliau di gosipkan berselingkuh dengan pegawai magang di Gedung Putih yang bernama Monica Lewinsky. 2. Diskusi Publik, tidak dipungkiri jika penguasa sudah menampilkan kemelencengan dalam setiap tindakan/kebijakannya maka metode ini juga cukup ampuh digunakan sebagai STOP selanjutnya, melakukan diskusi publik atau kajian-kajian bagaimana cara yang efektif untuk mengontrol kebijakan tersebut dengan mengundang banyak orang. Implementasi modern kegiatan diskusi publik ini adalah sidang Parlemen/Senat, Rapat Umum, dan Rapat Pemegang Saham Tahunan. 3. Satire, Ketika seorang pemimpin terlewat batas dalam kesehariannya maka metode Satire ini memiliki cara yang efektif untuk mengontrol seorang penguasa. Satire adalah kritik langsung masyarakat yang dibumbui humor/canda bahkan ahli Antropologi ternama Kanada Ricard Lee menyebutkan bahwa "humor" dan produknya (tawa) merupakan cara hebat untuk meredakan ketegangan di dalam kelompok dan bisa melancarkan hubungan antara atasan dan bawahan. Bentuk kekinian satire bisa disaksikan pada serial Badut Istana pada media Inggris yang berjudul Have I Got News For You sebuah Panel Show yang mengkritik perilaku politisi setempat. 4. Sikap Ketidakpatuhan, Salah satu tindakan efektif sebagai pengontrol kekuasaan seseorang adalah dengan tidak mengikuti apa yang menjadi bagian (serangkaian) kebijakannya. Dalam kondisi yang lebih kelam, nuansa ketidakpatuhan bisa dilihat dari proses penggulingan seorang untuk turun dari jabatannya, sementara dalam kondisi yang lebih modern ketidakpatuhan dikenal dengan "bassnapping", yaitu penyanderaan manajemen untuk memprotes pengurangan pegawai. 5. Pembunuhan. sikap ini merupakan cara ampuh pengendali kekuasaan seseorang, metode kelima ini bisa disaksikan pada perilaku masyarakat Papua Nugini yang menhabisi/membunuh pemimpinnya (kepala suku) gara-gara sering menyalahgunakan hak istimewanya dalam setiap kebijakan.
Nah kira-kira begitulah cara (metode) pengontrol kekuasaan seorang pemimpin, mulai dari tingkatan paling lembut, sindiran hingga pembunuhan. Semua metode pengontrol kekuasaan/STOP bersifat ekstrem.
Sumber; Anjana, Ahuja & Mark Van Vugt, 2015. Natural Leader; Mengapa Sebagian Orang Menjadi Pemimpin dan yang Lain Menjadi Pengikut?