IMPERIALISME KEBUDAYAAN : KITA TAK PERNAH MERDEKA Tinjauan Singkat Gejala Pos Kapitalisme
"Mungkin saat bangsa kita paling merdeka adalah saat Gadjah Mada mempersatukan seluruh nusantara dalam kerajaan Majapahit atau saat Sriwijaya menguasai seluruh wilayah nusantara. Lepas dari penjajahan Belanda, kita masuk ke penjajahan Jepang, seterusnya tulisan ini akan menguraikan bentuk–bentuk penjajahan yang kita alami pasca proklamasi kemerdekaan RI. Bila kita memandang sejarah kehidupan bangsa kita, dulu, kini, dan yang akan datang, ternyata bangsa kita, sebagai salah satu negara dunia ketiga, selalu jadi vektor syahwat imperialisme bangsa-bangsa Barat yang cenderung mengeksploitasi bangsa kita dengan berbagai dalih yang membuai. Kita lihat pengkategorian dan analisis dalam tulisan ini"
Begitulah kira-kira petikan tulisan yang tertera dalam sebuah artikel yang sangat menarik untuk dikupas pada edisi puasa ini. Cuplikan judul, tema dan tulisan diatas sengaja penyusun tidak merubahnya sedikitpun karean untuk menghindari nilai esensi tulisan tersebut. Sebelum melanjutkannya ke pembahasan, penyusun ucapkan terima kasih banyak kepada penulis artikel tersebut.
Menarik memang jika mengkaji lebih dalam apa yang tertera dalam artikel tersebut, sehingga setelah membacanya secara keseluruhan maka ada beberapa bagian yang menjadi priode babakan penjajahan/imperialisme di Indonesia, dinataranya;
1. Imperialisme Kuno; Babakn baru Penjajahan Indonesia.
Era ini ditandai dengan masuknya belanda melalui VOC nya pada tahun 1602 lalu hingga masuknya zaman Jepang di era PD 2 1942. Zaman ini ditandai dengan politik devite et empera Belanda pada masyarakat Indonesia pada waktu itu dan misi Gold, God n Gospel.
2. Imprealisme dengan Dalih Demokratisasi
Dengan bangkitnya kesadaran sebangsa Indonesia, senasib sepenanggungan sebagai korban penjajahan Belanda dan Jepang, negara Indonesia pun berdiri. Pada fasa ini, banyak bangsa-bangsa juga baru terlepas dari kolonialisme. Hal ini mendorong diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika dan hal ini mengilhami pula keinginan untuk tidak terlibat dalam perselisihan perang dingin warisan Perang Dunia II, antara Blok Barat (North Atlantic Treaty Organization) dan blok Barat (pakta Warsawa), dengan mendirikan organisasi Non-Blok. Di Eropah sendiri terus berkembang pemikiran-pemikiran akan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi. Berkembanglah demokrasi liberal di Barat dan berkembang pula demokrasi a la komunis di Uni Sovyet. Kedua pakta ini berusaha untuk mempengaruhi banyak negara-negara dunia ketiga yang masih muda untuk mencoba menerapkan pola pemerintahan negara demokratis. Bangsa Indonesia sendiri selama ini terbiasa dengan pemerintahan feodalistik monarki. Hal ini terlihat dengan bentuk-bentuk pemerintahan kita sebelum era penjajahan. Di Kerajaan Singosari, misalnya, pergantian kekuasaan selalu berdarah, dengan kudeta. Mentalitas rakyat pun masih sangat memperhatikan kultus individu. Rakyat selalu terbuai dengan mimpi-mimpi akan datangnya Ratu Adil yang memerintah dengan arif dan bijaksana. Tidak ada suatu inisiatif dari rakyat untuk menyepakati bersama pola pemerintahan negara di mana keadilan diatur dengan mekanisme peraturan dan perundangan yang disepakati bersama. Rakyat masih merasa tabu untuk melakukan protes dan kritik terhadap pemimpinnya. Hal ini dimanfaatkan dalam pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Soekarno benar-benar menjadi kultus individu bangsa Indonesia pada masa Orde Lama. Ia menjadi raja di tengah-tengah bangsa yang sedang belajar berdemokrasi, lebih jauh, ia dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Proses pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru yang berdarah (peristiwa G-30S/PKI) ternyata melahirkan rezim baru Orde Baru yang tak kalah feodalnya hanya berbeda merk dan polanya. Selama 32 tahun Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur bangsa tanpa sedikitpun memperhatikan pembangunan suprastruktur masyarakatnya. Tiga dekade lebih ini melahirkan pola kebudayaan mentalitas priyayi di hampir seluruh lapisan dan kalangan masyarakat bangsa Indonesia. Contoh yang tak asing lagi bagi kita, telepon umum dibangun untuk kemudian beberapa hari kemudian dirusak, untuk menjadi anggota DPR/MPR harus mengeluarkan sekian juta rupiah, bukannya menawarkan orientasi program yang meyakinkan rakyat, sogok-menyogok, dan banyak contoh-contoh lain yang menggambarkan bobroknya sistem kemasyarakatan kita mulai dari Presiden hingga tukang sapu jalanan.
3. Ancaman Imperialisme Kebudayaan
Jatuhnya rezim komunis di tengah kancah perang dingin telah menyebabkan kapitalisme merasa di atas angin. Bangkitlah pola-pola neo-kapitalisme dan neoliberalisme di tengah-tengah dunia. Di tengah-tengah masyarakat industri dunia saat ini, berkembang berbagai industri, mulai dari industri entertainment (hiburan) hingga barang-barang berat. Kuantitas variasi jenis industri sedemikian tingginya sehingga dibutuhkan pasar yang semakin luas pula. Pasar yang disoroti tentu saja tempat di belahan dunia di mana terjadi hiper-akselerasi modernisasi, namun belum memiliki masyarakat industri sebagaimana di Barat, tak lain adalah negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Ada gejala baru pola perindustrian pada masa sekarang. Jika sebelum renaissance (abad ke-13 M) segala proses produksi lebih berpolakan “form follows meaning”, artinya bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya kursi dibuat untuk duduk. Namun dengan berkembangnya perindustrian terjadi gejala baru, yakni “form follows function”, artinya segala bentuk hasil produksi dibuat berdasarkan fungsinya. Contohnya kursi dibuat dengan beberapa fungsi khusus, kursi santai, kursi untuk bekerja, dan sebagainya. Namun gejala budaya saat ini menampilkan pola produksi yang “form follows fun”, contohnya kursi untuk fungsi apa pun harus dapat menyenangkan si pemakai/konsumen1. Lebih lanjut, terjadilah bentuk-bentuk industri yang menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya (ecstasy). Pada kondisi ini, ideologi memiliki kecenderungan berubah menjadi imagologi, yakni penciptaan realitasrealitas baru dalam kehidupan. Lihat saja berbagai bentuk aplikasi virtual-reality yang ada sekarang, melalui game-game komputer, film-film, dan berbagai efekefek multimedia dan sibernetika lainnya2. Gejala neo-kapitalisme saat ini menciptakan berbagai kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat yang pada hakikatnya tidak memiliki esensi yang sedemikian mendalam dalam kehidupan. Contohnya, dahulu, rekreasi bukanlah suatu kebutuhan pokok, namun gejala budaya yang berkembang saat ini menempatkan rekreasi sebagai suatu kebutuhan pimer bagi manusia. Ini yang disebut-sebut sebagai “penipuan massa” (mass deception)4. Ada suatu gejala timbulnya industri kebudayaan (culture industry). Budaya saat ini bukan lagi faktor penentu proses produksi, namun budaya dapat diciptakan dalam proses produksi. Ada yang mengatakan bahwa dengan semakin banyak merk yang beredar maka kita akan lebih bebas dalam menentukan pilihan. Itu sebabnya di Amerika Serikat diberlakukan UU anti monopoli, sehingga variasi bukan hanya di jenis barang, namun dalam barang yang sama terdapat berbagai merk yang berbeda. Di sini ada gejala negatif, yakni bahwa pada dasarnya kita tidak bebas memilih, sebab kebebasan dalam memilih itu terdapat di dalam keterbatasan pilihan yang ada3. Kita toh tidak bisa memilih saluran televisi di luar TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, dan ANTeve dengan antena yang bukan parabola, bukan ? Artinya biarpun kita bebas sebebas-bebasnya menekan remote control televisi, kita tidak bisa melakukan pilihan di luar kelima saluran televisi tersebut. Kita terbatas dalam kebebasan kita. Hebatnya lagi, kebutuhan menonton televisi telah sedemikian penting. Kita terjebak dalam kebutuhan yang sangat tinggi akan menonton televisi, sementara pilihan hanya lima ! Di saat bangsa kita masih terseok-seok dengan berbagai pergolakan budaya transformasi dari masyarakat feodal ke masyarakat demokratis dan dari masyarakat agrikultural ke masyarakat industri, bertiup pula badai konsumerisme di tengah-tengahnya, dan lagi-lagi ini sangat mendukung pola penjajahan tahap ketiga : Imperialisme Kebudayaan, la culturische nation. Dengan dalih pembudayaan dan penyerahan segala sesuatu kepada mekanisme pasar (pasar bebas), ia ternyata melakukan penghisapan dengan investasi berbagai nilai budaya yang kita sendiri belum tentu siap menerimanya. Kecenderungan materialisme dan konsumerisme sangat tinggi, sementara pemikiran tentang esensi dan dialektika atas esensi eksistensi yang ada, rendah sekali. Akibatnya lahirlah generasi-generasi bisu di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Lahirlah generasi yang hanya tahu mengikuti flow mode dan kecenderungan umum yang ada. Timbullah generasi MTv, generasi Doraemon, generasi Juventus, generasi Boyzone, dan sebagainya. Olahraga sepakbola tidak hanya sekadar olahraga, melainkan terkomodifikasi menjadi suatu bentuk entertainment (hiburan) yang menawarkan merk-merk klub-klub sepakbola. Imagologi4 menjadi semacam ideologi dan membentuk realitas-realitas baru dalam pola pikir generasi saat ini. Ini semuanya menjadi semacam ecstasy yang menyunat segala bentuk kreativitas swa-produksi generasi muda. Bentuk-bentuk imagologi ini melumpuhkan mentalitas dan identitas (dalam pengertian kepribadian) dari generasi muda dunia ketiga, bahkan lebih jauh melunturkan suatu semangat nasionalisme yang membangun negeri ini.
Jika kondisi negara terus seperti ini, lalu kemana langkah dan arah gerakan pemudanya??
"Mungkin saat bangsa kita paling merdeka adalah saat Gadjah Mada mempersatukan seluruh nusantara dalam kerajaan Majapahit atau saat Sriwijaya menguasai seluruh wilayah nusantara. Lepas dari penjajahan Belanda, kita masuk ke penjajahan Jepang, seterusnya tulisan ini akan menguraikan bentuk–bentuk penjajahan yang kita alami pasca proklamasi kemerdekaan RI. Bila kita memandang sejarah kehidupan bangsa kita, dulu, kini, dan yang akan datang, ternyata bangsa kita, sebagai salah satu negara dunia ketiga, selalu jadi vektor syahwat imperialisme bangsa-bangsa Barat yang cenderung mengeksploitasi bangsa kita dengan berbagai dalih yang membuai. Kita lihat pengkategorian dan analisis dalam tulisan ini"
Begitulah kira-kira petikan tulisan yang tertera dalam sebuah artikel yang sangat menarik untuk dikupas pada edisi puasa ini. Cuplikan judul, tema dan tulisan diatas sengaja penyusun tidak merubahnya sedikitpun karean untuk menghindari nilai esensi tulisan tersebut. Sebelum melanjutkannya ke pembahasan, penyusun ucapkan terima kasih banyak kepada penulis artikel tersebut.
Menarik memang jika mengkaji lebih dalam apa yang tertera dalam artikel tersebut, sehingga setelah membacanya secara keseluruhan maka ada beberapa bagian yang menjadi priode babakan penjajahan/imperialisme di Indonesia, dinataranya;
1. Imperialisme Kuno; Babakn baru Penjajahan Indonesia.
Era ini ditandai dengan masuknya belanda melalui VOC nya pada tahun 1602 lalu hingga masuknya zaman Jepang di era PD 2 1942. Zaman ini ditandai dengan politik devite et empera Belanda pada masyarakat Indonesia pada waktu itu dan misi Gold, God n Gospel.
2. Imprealisme dengan Dalih Demokratisasi
Dengan bangkitnya kesadaran sebangsa Indonesia, senasib sepenanggungan sebagai korban penjajahan Belanda dan Jepang, negara Indonesia pun berdiri. Pada fasa ini, banyak bangsa-bangsa juga baru terlepas dari kolonialisme. Hal ini mendorong diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika dan hal ini mengilhami pula keinginan untuk tidak terlibat dalam perselisihan perang dingin warisan Perang Dunia II, antara Blok Barat (North Atlantic Treaty Organization) dan blok Barat (pakta Warsawa), dengan mendirikan organisasi Non-Blok. Di Eropah sendiri terus berkembang pemikiran-pemikiran akan Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokratisasi. Berkembanglah demokrasi liberal di Barat dan berkembang pula demokrasi a la komunis di Uni Sovyet. Kedua pakta ini berusaha untuk mempengaruhi banyak negara-negara dunia ketiga yang masih muda untuk mencoba menerapkan pola pemerintahan negara demokratis. Bangsa Indonesia sendiri selama ini terbiasa dengan pemerintahan feodalistik monarki. Hal ini terlihat dengan bentuk-bentuk pemerintahan kita sebelum era penjajahan. Di Kerajaan Singosari, misalnya, pergantian kekuasaan selalu berdarah, dengan kudeta. Mentalitas rakyat pun masih sangat memperhatikan kultus individu. Rakyat selalu terbuai dengan mimpi-mimpi akan datangnya Ratu Adil yang memerintah dengan arif dan bijaksana. Tidak ada suatu inisiatif dari rakyat untuk menyepakati bersama pola pemerintahan negara di mana keadilan diatur dengan mekanisme peraturan dan perundangan yang disepakati bersama. Rakyat masih merasa tabu untuk melakukan protes dan kritik terhadap pemimpinnya. Hal ini dimanfaatkan dalam pemerintahan Soekarno dan Soeharto. Soekarno benar-benar menjadi kultus individu bangsa Indonesia pada masa Orde Lama. Ia menjadi raja di tengah-tengah bangsa yang sedang belajar berdemokrasi, lebih jauh, ia dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Proses pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru yang berdarah (peristiwa G-30S/PKI) ternyata melahirkan rezim baru Orde Baru yang tak kalah feodalnya hanya berbeda merk dan polanya. Selama 32 tahun Indonesia melakukan pembangunan infrastruktur bangsa tanpa sedikitpun memperhatikan pembangunan suprastruktur masyarakatnya. Tiga dekade lebih ini melahirkan pola kebudayaan mentalitas priyayi di hampir seluruh lapisan dan kalangan masyarakat bangsa Indonesia. Contoh yang tak asing lagi bagi kita, telepon umum dibangun untuk kemudian beberapa hari kemudian dirusak, untuk menjadi anggota DPR/MPR harus mengeluarkan sekian juta rupiah, bukannya menawarkan orientasi program yang meyakinkan rakyat, sogok-menyogok, dan banyak contoh-contoh lain yang menggambarkan bobroknya sistem kemasyarakatan kita mulai dari Presiden hingga tukang sapu jalanan.
3. Ancaman Imperialisme Kebudayaan
Jatuhnya rezim komunis di tengah kancah perang dingin telah menyebabkan kapitalisme merasa di atas angin. Bangkitlah pola-pola neo-kapitalisme dan neoliberalisme di tengah-tengah dunia. Di tengah-tengah masyarakat industri dunia saat ini, berkembang berbagai industri, mulai dari industri entertainment (hiburan) hingga barang-barang berat. Kuantitas variasi jenis industri sedemikian tingginya sehingga dibutuhkan pasar yang semakin luas pula. Pasar yang disoroti tentu saja tempat di belahan dunia di mana terjadi hiper-akselerasi modernisasi, namun belum memiliki masyarakat industri sebagaimana di Barat, tak lain adalah negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Ada gejala baru pola perindustrian pada masa sekarang. Jika sebelum renaissance (abad ke-13 M) segala proses produksi lebih berpolakan “form follows meaning”, artinya bentuk hasil produksi mengikuti makna dari produk tersebut. Contohnya kursi dibuat untuk duduk. Namun dengan berkembangnya perindustrian terjadi gejala baru, yakni “form follows function”, artinya segala bentuk hasil produksi dibuat berdasarkan fungsinya. Contohnya kursi dibuat dengan beberapa fungsi khusus, kursi santai, kursi untuk bekerja, dan sebagainya. Namun gejala budaya saat ini menampilkan pola produksi yang “form follows fun”, contohnya kursi untuk fungsi apa pun harus dapat menyenangkan si pemakai/konsumen1. Lebih lanjut, terjadilah bentuk-bentuk industri yang menawarkan kesenangan bagi pemakai, terjadilah industri pola baru yang tidak hanya menawarkan barang produksi, namun barang produksi dengan intensitas fun yang ditawarkannya (ecstasy). Pada kondisi ini, ideologi memiliki kecenderungan berubah menjadi imagologi, yakni penciptaan realitasrealitas baru dalam kehidupan. Lihat saja berbagai bentuk aplikasi virtual-reality yang ada sekarang, melalui game-game komputer, film-film, dan berbagai efekefek multimedia dan sibernetika lainnya2. Gejala neo-kapitalisme saat ini menciptakan berbagai kebutuhan-kebutuhan baru dalam masyarakat yang pada hakikatnya tidak memiliki esensi yang sedemikian mendalam dalam kehidupan. Contohnya, dahulu, rekreasi bukanlah suatu kebutuhan pokok, namun gejala budaya yang berkembang saat ini menempatkan rekreasi sebagai suatu kebutuhan pimer bagi manusia. Ini yang disebut-sebut sebagai “penipuan massa” (mass deception)4. Ada suatu gejala timbulnya industri kebudayaan (culture industry). Budaya saat ini bukan lagi faktor penentu proses produksi, namun budaya dapat diciptakan dalam proses produksi. Ada yang mengatakan bahwa dengan semakin banyak merk yang beredar maka kita akan lebih bebas dalam menentukan pilihan. Itu sebabnya di Amerika Serikat diberlakukan UU anti monopoli, sehingga variasi bukan hanya di jenis barang, namun dalam barang yang sama terdapat berbagai merk yang berbeda. Di sini ada gejala negatif, yakni bahwa pada dasarnya kita tidak bebas memilih, sebab kebebasan dalam memilih itu terdapat di dalam keterbatasan pilihan yang ada3. Kita toh tidak bisa memilih saluran televisi di luar TVRI, RCTI, SCTV, Indosiar, dan ANTeve dengan antena yang bukan parabola, bukan ? Artinya biarpun kita bebas sebebas-bebasnya menekan remote control televisi, kita tidak bisa melakukan pilihan di luar kelima saluran televisi tersebut. Kita terbatas dalam kebebasan kita. Hebatnya lagi, kebutuhan menonton televisi telah sedemikian penting. Kita terjebak dalam kebutuhan yang sangat tinggi akan menonton televisi, sementara pilihan hanya lima ! Di saat bangsa kita masih terseok-seok dengan berbagai pergolakan budaya transformasi dari masyarakat feodal ke masyarakat demokratis dan dari masyarakat agrikultural ke masyarakat industri, bertiup pula badai konsumerisme di tengah-tengahnya, dan lagi-lagi ini sangat mendukung pola penjajahan tahap ketiga : Imperialisme Kebudayaan, la culturische nation. Dengan dalih pembudayaan dan penyerahan segala sesuatu kepada mekanisme pasar (pasar bebas), ia ternyata melakukan penghisapan dengan investasi berbagai nilai budaya yang kita sendiri belum tentu siap menerimanya. Kecenderungan materialisme dan konsumerisme sangat tinggi, sementara pemikiran tentang esensi dan dialektika atas esensi eksistensi yang ada, rendah sekali. Akibatnya lahirlah generasi-generasi bisu di negara-negara dunia ketiga, termasuk Indonesia. Lahirlah generasi yang hanya tahu mengikuti flow mode dan kecenderungan umum yang ada. Timbullah generasi MTv, generasi Doraemon, generasi Juventus, generasi Boyzone, dan sebagainya. Olahraga sepakbola tidak hanya sekadar olahraga, melainkan terkomodifikasi menjadi suatu bentuk entertainment (hiburan) yang menawarkan merk-merk klub-klub sepakbola. Imagologi4 menjadi semacam ideologi dan membentuk realitas-realitas baru dalam pola pikir generasi saat ini. Ini semuanya menjadi semacam ecstasy yang menyunat segala bentuk kreativitas swa-produksi generasi muda. Bentuk-bentuk imagologi ini melumpuhkan mentalitas dan identitas (dalam pengertian kepribadian) dari generasi muda dunia ketiga, bahkan lebih jauh melunturkan suatu semangat nasionalisme yang membangun negeri ini.
Jika kondisi negara terus seperti ini, lalu kemana langkah dan arah gerakan pemudanya??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar