Minggu, 12 Oktober 2014

PARTAI POLITIK DAN SISTEM KEPARTAIAN DI INDONESIA



Dalam Era Revormasi yang ditandai dengan keterbukaan dan demokratisasi, telah terbentuk sistem politik yang baru yang secara struktural berbeda dengan sistem politik otoriter orde baru
Pertama, pembatasan kekuasaan dan masa jabatan presiden selama maksimal dua periode masa jabatan atau dua kali lima tahun. Kedua, adanya jaminan konsitusi dan perundangan-undangan bagi hak-hak politik, kebebasan sipil, hak-hak asasi manusia yang melekat pada setiap warga negara. Ketiga, jaminan bagi kemerdekaan dan kebebasan pers. Keempat, kelangsungan pemilu yang bebas, fair dan demokratis yang diselenggarakan oleh komisi pemilu yang independen. Kelima, semua anggota perlemen, baik nasional (DPR dan DPD) maupun daerah (DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, dipilih melalui pemilihan umum. Keenam, adanya jaminan kebebasan berserikat kemungkinan setiap warga negara membentuk partai politik untuk ikut serta dalam pemilu, sehingga terbentuk lebih dari 100 parpol menjelang pemilu 1999. Ketujuh, militer mundur dari politik, sehingga semua jabatan politik formal dilegislatif dan eksekutif kini hanya bisa diisi oleh politikus sipil.
Skema penyelenggaraan pemilihan yang dimulai dengan pemilu legislatif baru kemudian diikuti oleh pemilu presiden berimplikasi pada terbentuknya pormat pemilu presiden yang ‘’didekte’’ oleh hasil pemilu legislatif. Betapa tidak, hasil pemilu legislatif menjadi bagi parpol-parpol untuk bergabung atau berkoalisasi, baik dalam pengusungan pasangan calon presiden maupun dalam membentuk pemerintahan hasil pemilu jika kelak pasangan calon tersebut menang. Dampak dari skema penyelenggaraan pemilu seperti ini adalah kelangsungan praktik presidensial dengan cita rasa sistem parlementer.
Konteks rekayasa intitusional
            Promlematik institusional melekat pada sistem demokrasi presidensial berbasis multipartai seperti dianut bangsa indonesia. Pembentukan koalisi yang dimaksud untuk memaksimalkan efektivitas kerja pemerintahan hasil pemilu. Melalui membentuk koalisi parpol pendukung pemerintah, diharapkan berbagai rencana kebijakan pemerintahn tidak diganggu atau dihambat oleh parpol diparlemen.
Mekanisme PT dimaksudkan agar jumlah parpol yang dapat duduk  di DPR sesedikit mungkin sehingga terbentuk sistem multipartai sederhana di satu pihak dan kinerja Dewan bisa efektif di pihak lain.
Perubahan stuktur
            Kehadiran sistem multi partai pasca rezim otoriter Orde Baru di Indonesia telah memberikan kontribusi bagi perkembangan demokrasi, meskipun masih bersifat terbatas. Keberhasilan penyelenggaraan pemilu secara bebas, demokratis dan hampir tidak gejolak komunal pada 1999 dan juga tiga rangkaian  pemilu pada 2004 membukti bahwa partai-partai adalah salah satu faktor integratif terpinting bagi pelembagaan demokrasi  di Indonesia.
            Selain menjadi faktor integrasi, kehadiran partai-partai baru makin memperluas basis sosial elite baru, baik di lembaga legislatif maupun di dalam pemerintahan. Jika elite politik pada Era Orde Baru berpusat pada militer, birokrasi dan pengusaha kroni, Era Reformasi menandai munculnya elite politik dengan basis sosial yang sangat beragam , mulai dari tokoh  agama, aktivis NGO, mahasiswa dan intektual, artis, dan bahkan para wakil kaum perempuan.
            Peran dan posisi partai-partai dalam proses politik  di Era Reformasi jelas sangat segnifikan dibandingkan peran terbatas partai pada era Soeharta. Dinamika parlemen, baik di tingkat nasional maupun daerah (provensi, kabupaten, dan kota) juga jauh lebig tinggi dibandingkan perannya yang hanya melegitimasikan sistem otoriter pada masa Orde Baru.
            Demokrasi substansial memang belum dicapai indonesia pascarezim otoriter Orde Baru. Tetapi, segenap prosedur demokrasi seperti kebebasan pers, kebebasan berserikat, pemilu yang demokratis dan pembentukan lembaga-lembaga demokrasi telah mengantarkan bangsa ini belajar banyak tentang kesalahan masa lalu.

Analisis dan Penataan Ke Depan
Sudah cukup sering dikemukakan institusi partai politik (parpol) adalah salah satu pilar terpenting bangunan sistem demokrasi selain institusi pemilihan umum, eksekutif, legislatif, yudikatif dan lembaga pers yang bebas. Begitu pentingnya kedudukan parpol, sering dikata pula, tidak ada demokrasi tanpa kehadiran parpol didalamnya. Walaupun demikian perlu segera digarisbawahi. Pertama, sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila parpol juga bekerja dalam kerangka suatu sistem kepartaian yang mendukung dan memungkinkan demokrasi bekerja. Kedua, tidak semua partai politik memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi. Samuel P. Hungtington, misalnya, menggarisbawahi bahwa hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalkan yang menjanjikan terbangunnya demokrasi tidak semata-mata identik dengan jumlah parpol, seolah-olah semakin banyak jumlah parpol maka suatu negara semangkin demokrasi. Sebenarnya sejak awal telah mewarisi berbagai kelemahan struktural, mulai dari tradisi konflik, tidak adanya displin organisasi, elitis, kepemimpinan yang cendrung personal, kecendrungan pemimpin besar antara elite  partai dan massa pendukungnya ditingkat bawah. Dalam kaitan ini dapat diidentifikasikan empat kelompok kegagalan kepemimpinan, kegagalan ideologi , serta kegagalan taktik dan strategi. Kegagalan organisasi dan institusionalisasi  tampaknya dialami oleh  hampir semua partai politik. Konflik internal yang dialami oleh partai-partai besar dan kecil pada umumnya bersumber pada  pelanggaran aturan  main’’ yang ironinya sebagian besar dilakukan pemimpin atau ketua umum partainya masing-masing. Hampir tidak ada tradisi berorganisasi secara rasional, kolegial, demokratis, dan bertanggung jawab idalam partai-partai karena tidak jarang keputusan dari pilihan politik ditentukan secara sepihak dan oligarkis oleh segelintir  atau bahkan seorang pemimpin partai.
Dalam konteks ideologi, para politikus partai cendrung bersifat mendua dan tidak konsisten. Di satu pihak secara formal dan verbal mereka mendukung ideologi, baik ideologi negara maupun ideologi partai, tetapi dalam perilaku sering menggunakan dukungan itu untuk kepentingan kelangsungan kekuasaan pribadi dan vested interest kelompok akhirnya mengalahkan komitmen mereka terhadap ideologi. Pada akhirnya, kepentingan pribadi dan kelompok itulah yang menjadi ‘’ideologi’’ para politikus partai dewasa ini. Sementara itu, dalam konteks taktik dan strategi, pada umumnya partai-partai  terperangkap upaya memperjuangkan jabatan-jabatan publik ketimbang perjuangan memenangkan kebijakan publik.

Fungsi pendidikan politik bagi masyarakat hampir tidak pernah disentuh dan menjadi agenda partai-partai politik. Sebaliknya, partai-partai politik kita cendrung bersembunyi dibalik baju yang bersifat  ideologi , dibelakang karisma pribadi para elitenya, serta dibalik isu-isu besar yang tak pernah  diterjemahkan secara kontekstual-operasional. Sebagai akibatnya kompetisi partai-partai cendrung lebih bersifat fisik (melalui kemampuan pengarahan massa mobilisasi simbol-simboldan sejenisnya) ketimbang kompetisi atas dasar keunggulan visi, platform dan proram politik.
Oleh karena itu, selain pemberlakuan ambang batas parlemen secara konsisten, skema sistem multipartai sederhana dapat diwujudkan melalui, pertama, perubahan besaran Dapil, dari 3-10 kursi anggota DPR dan 3-12 kursi anggota DPRD, menjadi masing-masing 3-5 dan 3-6 kursi anggota parlemen per satu Dapil. Kedua, melembagakan pembentukan koalisi secara permanen dalam arti suatu koalisi yang diikat secara publoik dan bersifat notariat . ketiga, penyederhanaan pengelompokan fraksi diparlemen atas fraksi pendukung pemerintah di satu pihak, dan fraksi oposisi dan atau fraksi independen dipihak lain. Kempat, pemberlakuan ambang batas parlemen bagi parpol yang lain.
           
           


Tidak ada komentar:

Posting Komentar