Perdebatan tentang kiprah perempuan di panggung politik merupakan isu yang banyak muncul sejak pasca Pemilu 1999 yang kurang memperhatikan komposisi peran perempuan, baik dalam partai politik, pancalonan legislative hingga perolehan kursi di Parlemen dan lembaga-lembaga politik kenegaraan lainnya. Hal ini berdampak kurang kurang diperhatikannya kebijakan yang pro kaum perempuan dalam pengambilan keputusan yang berpihak pada nasib kehidupan komunitasnya sebagai konstituen terbesar di Indonesia. Masalah keterwakilan politik perempuan Indonesia masih sangat rendah. Berkaca pada Pemilu tahun 1999 hanya terdapat 9% dari 462 anggota DPR RI yang merupakan anggota perempuan, namun pada Pemilu 2004 meningkat menjadi 11%. Peningkatan tersebut salah satunya didorong oleh lahirnya 2 UU di bidang politik, yaitu UU 31 tahun 2002 tentang Parpol dan UU No.12 tahun 2003 tentang Pemilu. Bahkan pada pemilu 2009 lalu angka prosentasenya telah mencapai 17% dari seluruh keanggotaan DPR RI yang berjumlah 560 orang yang berdampak dari pemberlakuan kuota 30 persen untuk kalangan perempuan baik dalam partai politik maupun dalam pencalonan legislatif.
Masalah penerapan kuota untuk perempuan diberbagai tingkatan dan berbagai lembaga politik belum tercapai memuaskan kalangan perempuan, serta masalah dampak sistim kebijakan yang kurang berpihak untuk perempuan adalah sebagai implikasi dari peluang dan kesempatan peningkatan partisipasi perempuan bagi partai politik yang minim karena berbagai kendala yang melatarinya. Kendala-Kendala terhadap Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia yakni perlunya meningkatkan jumlah kaum perempuan dalam politik terkait beberapa faktor yang menghambat peran serta kaum perempuan. Faktor itu dapat dikategorikan ke dalam bidang politik. Yang dimaksud dengan faktor-faktor politik adalah kurangnya dukungan parpol. Secara lebih spesifik bahwa sistem politik dan partai-partai politik Indonesia sangat tidak peka jender. Akibatnya, kaum perempuan berikut isu-isu yang menyangkut diri mereka sangat disepelekan. Topik mengenai sistem pemilu dibahas dengan minat yang tinggi manakala pasal-pasal UU pemilu yang menyangkut kaum perempuan sedang digodok di parlemen sekedar pemberian kuota. Namun ternyata terkait dengan jenis-jenis sistem pemilu yang dibahas antara lain ialah sistem mayoritas, sistem proporsional dan sistem campuran penempatannya kurang mendapatkan ruang yang semestinya. Adalah kenyataan historis tentang rendahnya representasi perempuan Indonesia di semua tingkat pengambilan keputusan akibat sistem kepartaian dan Pemilu yang tidak memberi peluang perempuan berkiprah. Dan, bahkan partai politik kurang banyak memberikan pendidikan politik bagi mereka.
Reformasi politik yang sedang bergulir menuju kehidupan politik yang demokratis adalah peluang untuk memperlebar bagi perempuan dan sektor-sektor masyarakat lainnya untuk mengekspresikan pandangan mereka serta merumuskan dan menyuarakan tuntutan mereka tentang kesadaran dan kepekaan jender yang lebih besar di dalam kebijakan-kebijakan pemerintah, dan legislatif.
Maraknya tuntutan pada representasi perempuan di semua tingkatan dan seluruh aspek kehidupan politik untuk menyuarakan kebutuhan mereka, sekaligus mempertahankan hak-haknya secara bersama-sama mempengaruhi wacana dan arah kebijakan pemerintah menyangkut pelibatan perempuan Indonesia dalam kehidupan publik dan menegaskan pentingnya tanggungjawab para aktor politik perempuan, serta perlunya membangun lembaga-lembaga politik yang memungkinkan tumbuh-berkembangnya kesetaraan jender. Perlunya partai politik bagi perempuan yang mampu mengasah kepekaan dan kesadaran mereka tentang isu-isu jender, serta berupaya merombak struktur internal mereka (misalnya dalam menjalankan proses rekrutmen, seleksi kandidat dan sistem pendanaan bagi kandidat perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu).
Perlunya penanaman sikap kritis dan penyadaran bagi mereka perempuan mereka untuk berkiprah secara efektif dalam perjuangan politik dan Pemilu yang dapat memajukan kaum perempuan. Karenanya pendekatan pada pihak perempuan untuk tidak sebatas sebagai pelengkap penggembira partai politik ataupun peserta pemilih yang diabaikan, namun dibutuhkan media atau wadah untuk mengasah kepekaan dan kesadaran mereka tentang isu-isu jender, platform politik dan jejak rekam partai, serta berupaya merombak struktur internal mereka, misalnya dalam menjalankan proses rekrutmen, seleksi kandidat dan sistem pendanaan bagi kandidat perempuan yang mencalonkan diri dalam pemilu. Sehingga struktur politik Indonesia tidak lagi dibangun di atas jaringan yang sangat eksklusif, yang didominasi oleh kaum lelaki yang berimbas pada kepemimpinan dalam struktur politik pun didominasi oleh laki-laki baik dalam tubuh partai maupun kadidat calon legislatife Pemilu. Di era reformasi mestinya sudah tidak ada lagi keengganan parpol untuk memasukkan agenda perempuan.
Atas dasar itulah diperlukannya suatu sosialisasi peningkatan pemahaman politik bagi perempuan untuk berpartisipasi secara politik dalam kegiatan kepartaian maupun Pemilu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar