Lombok dikenal sebagai daerah yang kaya akan wisata alamnya dan tak heran akhir-akhir ini menjadi idaman para turis domestik maupun asing untuk mengisi liburannya. Lombok merupakan salah satu pulau yang terdapat di kawasan provinsi NTB yang terletak di timurnya provinsi Bali, daerah Lombok ini memiliki luas mencapai 5.435 km² yang dihuni sekitar 80% masyarakat setempat yang dikenal dengan suku Sasak, dan sisanya dihuni oleh Orang Bali, Jawa, Tionghoa, dan Arab. Sedangkan untuk masalah agama, daerah Lombok dikenal sangat fanatik dengan agama Islam dengan jumlah penganut sekitar 93% sedangkan sisanya penganut agama Hindu, Kristen, dan Buddha.
Mengenai kebudayaan masyarakat Lombok hampir mirip dengan Bali karena apa yang menjadi budaya di masyarakat Bali ada juga di pulau Lombok, hal ini dipengaruhi oleh kekuasaan Bali terhadap Lombok di era tempo dulu. Disamping itu juga di pulau ini anda juga bisa menemukan masyarakat Bali beserta ornamen tempat ibadahnya di berbagai daerah Lombok terutama di kawasan Kota mataram.
Di pulau Lombok anda akan menemukan berbagai budaya yang menarik untuk anda ketahui, salah satunya adalah tradisi “Merarik” tradisi ini adalah sebutan untuk istilah pernikahan oleh masyarakat setempat. Secara etimologis kata merari’ diambil dari kata “lari”, berlari. Merari’an berarti “melai’ang” yang artinya melarikan, merari’ merupakan tradisi masyarakat suku Sasak yang berada di Lombok yang sangat identik dengan “kawin lari”. Kawin lari disni bukan berarti menikah tanpa adanya tanggung jawab dari seorang laki-laki, melainkan merari’ dengan metode kawin lari ini adalah suatu kebanggan tersendiri bagi kaum laki-laki (mame) pada masyarakat Lombok terutama suku Sasak. Tradisi merari’ merupakan salah satu cara pernikahan yang paling sering digunakan oleh masyarakat setempat, karena cara ini dianggap terhormat bagi kaum Adam masyarakat setempat.
Secara terminologis, merari’ diartikan sebagai proses menculik gadis atau calon mempelai yang hendak dinikahi dengan alasan untuk menjaga kehormatan calon istri yang akan dinikahi, untuk waktu penculikan terlebih dahulu seorang laki-laki (mame) mencari hari dan bulan yang baik dan tepat untuk dilakukan. Agar tidak salah persepsi, ketika calon perempuan yang telah diculik itu kemudian ditempatkan dirumah kerabat calon mempelai laki-laki setelah beberapa waktu (jam, hari, dan minggu) calon mempelai wanita yang diculik itu dibawa kerumah calon mempelai laki-laki (mame).
Lalu kapan sih tradisi ini muncul di masyarakat adat suku Sasak? Mengenai kemunculan tradisi ini tidak ada yang tau pasti karena sumber tertulis mengenai tradisi ini sangat minim, namun paling tidak terdapat dua asumsi yang paling mengemuka yaitu dari tokoh adat suku Sasak, Lalu Azhar (mantan wagub NTB) menyatakan bahwa tradisi merari’ ini merupakan tradisi lokal yang orisinal alias asli dari masyarakat stempat, lebih lanjut lagi bahwa tradisi ini sudah ada sebelum Bali dan Belanda menguasai Lombok. Kedua, dari hasil penelitian ilmuan Belanda yang bernama Niewenhuyzen, menurutnya sebagian besar adat suku Sasak memiliki kesamaan dengan adat suku bali namun adat yang selama ini dikenal dengan “merarik” adalah adat suku Sasak yang sebenarnya.
Dari pihak keluarga gadis yang merasa kehilangan, mereka melaporkan kepada kepala kampung atau kepala desa, proses ini disebut mesejati. Pihak lelaki memberi kabar atau nyelabar pada keluarga gadis bahwa anak gadisnya kawin lari. Urusan ini telah menjadi urusan desa, maka kepala desa mempelai laki-laki akan turun tangan memberitahu kepala desa pihak wanita, yang selanjutnya disampaikan kepada keluarga mempelai wanita.
Prinsip Dasar Merarik (Nikah) Adat Suku Sasak
Menurut hasil disertasi M Nur Yasin tentang budaya merarik suku Sasak menyebutkan bahwa prinsip dasar pernikahan (merari’) di pulau Lombok dibagi menjadi empat bagian, yaitu;
1. Prestise Bagi Keluarga Perempuan, Kawin lari (merari’) diyakini sebagai bentuk penghormatan atas harkat dan martabat keluarga besar perempuan (nine), gadis yang menikah dengan cara diculik tersebut tidak dianggap sebagai pelecehan sepihak dari keluarga laki-laki. Bahkan jika ada perkawinan seorang perempuan tanpa melaui penculikan (merari’/kawin lari) maka keluarga besar perempuan tersbut dianggap terhina. Asumsi ini sangat mengakar kuat dalam struktur masyarakat Lombok.
2. Superioritas Lelaki dan Inferioritas Perempuan, Hal yang tak dipungkiri dan dihindarkan dari merari’ (kawin lari) adalah kaum lelaki mampu menguasai dan mampu menjinakkan kondisi sosial psikologis calon istri entah itu dengan dasar suka sama suka ataupun telah direncanakan sebelumnya sehingga dengan kondisi demikian menggambarkan inferioritas kaum perempuan atas segala tindakan yang dilakukan kaum laki-laki.
3. Egalitarianisme (Menimbulkan Rasa Kebersamaan), Dengan adanya kawin lari (merari’) ini akan memberikan kontribusi yang positif kepada kedua belah pihak, kebersamaan dari kedua keluarga besar akan melibatkan komunitas besar bagi suatu masyarakat setempat dan akan terjadi pertukaran budaya. Dalam implementasi tradisi kawin lari ini terkadang juga tidak selalu berakhir dengan manis, adakalanya kawin lari (merari’) tersebut berakhir dengan pembatalan, biasanya pembatalan ini disebut “belas” dan terjadi karena tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak.
4. Komersial, dengan terjadinya kawin lari (merari’) ini hampir berkelanjutan ke proses tawar menawar “Pisuke”, istilah ini diartikan sebagai proses negoisasi yang kental dengan bisnis, umumnya alasan yang selalu muncul dari pihak perempuan adalah adanya indikasi kuat bahwa seorang ayah telah membesarkan anaknya dengan segelintir dana besar sehingga muncul sikap orang tua perempuan untuk meminta ganti rugi dalam proses membesarkan anaknya kepada calon menantunya (laki-laki). Jika semakin tinggi tingkat pendidikan dan tingkat sosial anak dan orang tua seseorang maka semakin besar pula nilai ekonomis yang ditawarkan. Akan tetapi komersialisasi akibat kawin lari (merari’) ini akan melemah jika diantara calon suami/istri berasal dari luar suku Sasak, hal ini disebabkan oleh adanya dialog peradaban, adat dan budaya antara nilai yang menjadi pedoman orang suku Sasak dan pedoman orang luar suku Sasak.
Dampak Positif dan Negatifnya Tradisi Merari’ (Kawin Lari)
Salah satu nilai positif yang paling mendasar dari adanya tradisi merari’ pada masyarakat suku Sasak Lombok adalah adanya sikap heroik (kepahlawanan) bagi kaum laki-laki, sehingga dengan demikian tradisi ini sangat dipertahankan oleh masyarakat setempat.
Sedangkan nilai negatif bagi kaum perempuan (nine) dari tradisi merari’ ini adalah munculnya asumsi yang mengatakan ja’ ne lalo tebait si’ semamene (suatu saat akan meninggalkan orang tua karena akan diambil dan dimiliki oleh suaminya). Begitupula dengan tradisi perkawinan yang terjadi pada masyarakat suku Sasak, posisi seorang perempuan (nine) itu diasumsikan sebagai barang dagangan yang harus dipromosikan, artinya dengan peristiwa penculikan/kawin lari (merari’) tersebut selanjutnya akan dialnjutkan dengan proses tawar-menawar uang “Pisuke” (jaminan).
Berdasarkan penuturan akademisi IAN Mataram, dalam peristiwa merari’ ini terdapat sembilan superioritas kaum laki-laki sebagai suami terhadap kaum perempuan sebagai istri, superioritas tersebut antara lain;
1. Adanya sikap otoriter suami dalam menentukan setiap keputusan keluarga.
2. Pekerjaan domestik hanya dilakukan oleh istri, misalnya nyapu, masak, dll. Jika pekerjaan domestik ini dilakukan oleh laki-laki maka perempuan dianggap melannggar adat karena merendahkan derajat kaum lelaki, oleh sebab itu pekerjaan domestik ini sangat tabu jika dikerjakan kaum laki-laki.
3. Jika seorang istri adalah perempuan karier maka ia juga diharuskan mengerjakan tugas domestik tersebut sehingga terkadang seorang perempuan memiliki peran ganda dalam keluarga.
4. Adanya praktek kawin cerai yang akut dan cukup besar.
5. Jika seandainya perkawinan campuran terjadinya, misalnya kaum pribumi (petani, buruh, nelayan) menikah dengan perempuan yang berasal dari keluarga bangsawan (gelar bangsawan masyarakat suku Sasak adalah Lalu/Baiq) maka keturunannya tidak boleh menampilkan gelar itu, jika sebaliknya lelaki berasal dari kaum bangsawan dan istrinya dari kaum non bangsawan maka keturunanya boleh ditampilkan gelar kebangsawanan tersebut.
6. Nilai perkawinan itu akan ternodai jika dikaitkan dengan pelunasan uang “Pisuke” (jaminan)
7. Jika terjadi perceraian maka seorang istrilah yang meninggalkan rumah yang ditempati ketika masih berkeluarga tanpa menikmati nafkah selama masa iddah, kecuali jika dalam perkawinan nyerah hukum atau nyerah mayung sebungkul.
8. Tidak adanya pembagian harta gono gini.
9. Peluang poligami sangat tinggi bila dibanding dengan masyarakat suku lain.
Sumber;
Yasin. M Nur. 2006. “Kontekstualisasi Doktrin Tradisional di Tengah Modernisasi Hukum Nasional: Studi tentang Kawin Lari (Merari’) di Pulau Lombok”, Jurnal Istinbath No. I Vol. IV Desember 2006, h. 73-75.
Fath. Zakaria. 1998. Mozaik Budaya Orang Mataram,. Mataram: Yayasan Sumurmas Al-Hamidy. (hal. 10-11)
Dulangl. Gede Suparman. 1995. Perkawinan. Mataram: Lembaga Pembakuan dan Penyebaran Adat Sasak.
Tata, Titi. 1988. Adat Perkawinan Sasak, Kepembayunan Lan Candrasengkala. Mataram: Lembaga Pembukuan dan Penyebaran Adat Sasak Mataram Lombok.